Jul 16, 2015

ArtJog 2015 and OK Video 2015 (Part 3)

IMG_8274

Melanjuti postingan tentang ArtJog 2015 dan OK Video 2015 kemaren, kali ini gue mau bahas soal karya-karya yang ada di dua pameran tersebut. Yeuk, mari?

***

Tentu saja, gue nggak bisa me-review semua karya di kedua pameran ini. Nanti bisa-bisa blog ini nyaru sama kamus, saking kebanyakan tulisan. Jadi gue highlight beberapa karya yang mencuri perhatiankyu aja, ya.

First up, ArtJog 2015!

ArtJog 2015 is massive. 90 artworks, bok! Sampe-sampe gue ngabisin 6,5 jam dalam dua hari disana. Antara karena pamerannya kegedean, atau karena guenya kelamaan merenungi tiap karya yang ada ((merenungi))

ArtJog 2015 did not have a specific theme, so the artists could speak about whatever through their art. Nggak ada benang merah dalam pesan karya-karyanya, selama karyanya interaktif.

Nah, soal ‘interaktif’, ternyata mayoritas seniman di ArtJog 2015 mengartikan kata kunci ini dengan harfiah, sehingga 95% karya disini bener-bener menggunakan sensor, tuas, benda yang bisa dipindah-pindah / dipake / dibongkar, atau ruang yang bisa ditempati. Pokoknya harfiah banget, deh.

Menyenangkan, sih, but I didn’t expect the artists would be so literal.

Sebenernya ada banyak karya di ArtJog 2015 yang pengen gue bahas, tapi karena harus dikerucutin, berikut adalah karya-karya pilihan yang lumayan membekas di sanubari akik.

Indieguerillas – Taman Budaya


Indieguerillas adalah commissioned artist alias seniman tamu ArtJog 2015, yang berarti ArtJog mengundang mereka bikin karya untuk pameran ini.

Dalam benak gue, a commissioned artist should always make something epic, in general sense. 

And I’m pleased to see that they made something epic, indeed.

Untuk ArtJog 2015, Indieguerillas menciptakan sebuah sebuah display berjudul Taman Budaya, yang terdiri dari delapan instalasi. Masing-masing instalasi berbentuk seperti “kedai” yang “ditempatkan” diatas sebuah sepeda gede. Bukan ditempatkan, sih. Lebih kayak hybrid kedai dengan sepeda.

IMG_7850
Suasana Taman Budaya di bawah kubah

Di Taman Budaya ini ada kedai cukur rambut, kedai makanan, galeri seni mini, tempat tidur, tempat ibadah, toko, gerobak hasil panen, dan kedai bermain congklak. Semuanya ditempatkan di dalam sebuah kubah semi-open air. Bener-bener jadi “taman budaya”, ya.

Masing-masing kedai ini memfasilitasi aktivitas-aktivitas pokok manusia—tidur, makan, grooming, bercocok tanam, bebelian, main, menikmati seni, beribadah.

Kedai-kedai ini berfungsi beneran, lho! Misalnya, di kedai cukur rambut, ya ada tukang cukurnya beneran. Di kedai makanan, ada makanan yang dijual. Di kedai toko kelontong, barang-barangnya beneran for sale, bahkan bisa dibayar pake kartu debit. Trus kedai tempat ibadahnya pun bersih dan dihadapkan ke kiblat. Jadi kalo mau numpang sholat, monggo.

IMG_7858
Kedai yang menjual bahan pangan hasil bumi (Green Box)

IMG_7855
Kedai toko (The Holy Market). Selain ngejual pernak-pernik begini, kedai ini juga menjual jasa baca peruntungan lewat kartu tarot. PENGEN TAPI ATUUUT.

IMG_8245

Pesan yang mau disampaikan Indieguerillas kayaknya adalah aktivitas-aktivitas ini sebenernya simpel, tapi jadi nggak simpel lagi di jaman urban  ini.

Contohnya, instalasi kedai main congklak (The Dakon) dan kedai cukur rambut (Goyang Cukur). Fungsi kedainya gitu doang, sih, buat main congklak dan cukur rambut. Tapi sebagai warga urban, hal-hal sederhana ini yang justru udah jarang kita alami. Kapan, ya, terakhir kali gue main sebuah permainan non-elektronik bareng rekan yang kehadirannya nyata, bukan maya? Lupa. Kapan juga terakhir kali gue ngeliat tukang cukur rambut keliling yang mangkal dibawah pohon rindang? Makin jarang aja, deh.

IMG_8240

IMG_7849 
Kedai main congklak (The Dakon)

IMG_7838
Kedai cukur rambut (Goyang Cukur)

IMG_8220

IMG_7830

Sementara beberapa instalasi lainnya dibuat lebih nyentil. Misalnya, pada instalasi kedai makanan (Face Off Face Dinner).

Kedai ini kapasitasnya dua orang, jadi sambil makan, kita duduk berhadap-hadapan dengan teman kita.

IMG_8228
Kedai makanan (Face Off Face Dinner).

Tapi di antara dua kursi makan ini terdapat panel yang menghalangi, serta ada layar plus kamera. Jadi kita cuma bisa ngeliat teman makan kita lewat layar. Nggak bisa ngeliat langsung. Begitu juga sebaliknya.

IMG_8225

Pesan Face Off Face Dinner ini adalah, nowadays, we always eat while staring at our (phone) screens tanpa memperdulikan atau berinteraksi dengan teman makan kita. Falsafah Jawa mangan ora mangan kumpul pun jadi nggak terasa. Maka diciptakanlah kedai makan ini, yang bener-bener memberikan pengalaman screen to screen; lo hanya bisa liat temen lo lewat layar, meski duduknya depan-depanan. Dhuar!

IMG_8270
Bisa beli makanan (khas Jogja) beneran, lhooo...

Instalasi yang agak nyentil lain ada pada instalasi galeri seni mini (Galeri Nginjen).

Pada instalasi ini, para pengunjung dipersilahkan duduk di kursi-kursi sepeda yang mengitari sebuah tabung. Di dalam tabung ini, terdapat karya-karya seni yang bisa diintip (“nginjen” dalam bahasa Jawa) dari sebuah lubang. Untuk melihat semua sketsa yang ada, tabung ini harus diputer perlahan.

IMG_7867
Galeri seni mini (Galeri Nginjen)

Bingung? Bayangin aja display rak kacamata item atau aksesoris yang suka ada di toko-toko. Kalo mau liat-liat kacamata atau aksesoris disitu, rak-nya ‘kan harus diputer, tuh. Nah, sistem Galeri Nginjen ini kira-kira begitu, lah.

IMG_7865

IMG_7823
Ngintip lubang Galeri Nginjen

Instalasi ini dimaksudkan untuk nyentil galeri-galeri seni yang biasanya luas, bersih, berhawa ‘dingin’ serta eksklusif. Di galeri-galeri tersebut, para pengunjung biasanya asik sendiri-sendiri, nggak berinteraksi dengan pengunjung lain.

Sementara pada Galeri Nginjen, pengunjung harus ‘bekerjasama’ dengan pengunjung di sampingnya kalo mau ngintip artworks dalam tabung secara keseluruhan, dengan cara bergantian memutar si tabung. Dengan demikian, di Galeri Nginjen, menikmati karya seni jadi lebih komunal, nggak individualis.

Tapi instalasi yang paling gue suka di Taman Budaya ini adalah kedai tempat ibadah (Meditative Space). Di ujung kiblatnya ada duit! Jadi ceritanya kita nyembah duit banget, nih? Emang gitu, sih.

IMG_7882

IMG_7881

Sejujurnya, nih, bagi gue Taman Budaya nggak mindblowing, tapi secara keseluruhan gue suka, karena temanya relevan dengan diri gue sendiri. Gue adalah anak 90an, sehingga pernah ngerasain hidup tanpa internet, and it was a good life. Sekarang hidup gue makin urban, makin individualis, dan nggak bisa hidup tanpa gadget... but I’m loving it, too! 

Taman Budaya memang merefleksikan gaya hidup masyarakat urban yang semakin internet-isme dan individualis, tapi Indieguerillas nggak sok-sok ngritik gaya hidup ini (bosen, ah, ngritik gaya hidup urban mulu). Wong emang menikmati, kok dikritik? Just like Indieguerillas, I’m a happy victim of the internet-culture, so I don’t complain, and neither did Indieguerillas.

Mark Justiniani – Mimefield

Mimefield adalah sebuah karya yang memainkan teknik kaca dan LCD, sehingga lantai dengan kedalaman 40 cm doang jadi tampak seperti lubang galian dengan kedalaman berpuluh-puluh meter.

IMG_8159
Kedalaman instalasi ini aslinya cuma 40cm (liat lantai)...

IMG_8160
... tapi berkat trik visual, penampakannya jadi seperti ini.

I like Mimefield because it doesn’t try to be a high-art. It is practically just a visual trick and nothing else. Nggak pake gimmick, nggak pake pesan-pesan yang mengkhotbahi pengunjung, just a detailed technical play. Simpel, menyenangkan, menghibur untuk semua pengunjung, kelar.

IMG_8153

It is also interactive in a different way.
Nggak harfiah. Sang seniman hanya bermain dengan interaksi antara persepsi dan pengetahuan kita. Kita tau, bahwa ini lubang ini kedalamannya cuma sekian puluh sentimeter, tapi kok keliatannya kayak bermeter-meter? Lho, lho?

Dan interaksi persepsi vs pengetahuan ini memang fondasi sebagian besar karya seni rupa *tepok tangan*

Zulfian Amrullah – Makan


Seperti Mimefield, Makan juga sebenernya simpel banget. Pesan dari karya ini adalah bahwa kebutuhan untuk makan—sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia—bisa memicu entah perpecahan (fight / war) atau persatuan (love). Eciyeee...

Untuk menyampaikan pesan tadi, Zulfian membuat dua display set meja makan. Pada set pertama, kursi dan meja makan tampak saling berantem. Pada set kedua, kursi dan meja makannya saling bertumpukan dan melebur jadi satu, seperti lagi bercinta. Fun and easy, right? 

IMG_8343
Kursi-kursi saling 'serang'

IMG_8345

Sebenernya hampir semua karya-karya ArtJog 2015, tuh, fun and easy gini. Tapi gue specifically suka Makan karena, pertama, bentuk-bentuk perabotan ini keliatan puitis dan human-like di mata gue. It looked like the furniture were possessed and came alive. Kedua, walaupun pesan dari karya ini kayaknya ‘dalem’, the artwork itself isn’t trying too hard. Simpel-simpel aja.

IMG_8346

Bagi gue, karya yang bisa tampil "not trying too hard tapi efektif" tuh mencerminkan jagonya seorang seniman, lho. Ah, masaaa? (Ah, iyaaa? Gengsi, dong).

Popok Tri Wahyudi, Yayasan Gaia, dan para sukarelawan - Red Rover Redux

Popok Tri Wahyudi adalah seorang seniman komik yang sudah lama memendam kegelisahan, karena dese nggak yakin, apakah keberadaannya sebagai seniman, tuh, berguna bagi kehidupan. Ia lalu mencoba meredam kegelisahannya dengan membuat “karya seni” yang berguna, yaitu sebuah klinik keliling—yang ia hias dengan mural—untuk warga kurang mampu.

Bekerjasama dengan Yayasan Gaia, the mobile clinic was fully functional, with real doctors and everything, and it was running for a few weeks (I think) before ArtJog 2015. 

Gue sukaaaa banget dengan pertanyaan yang melatarbelakangi karya ini, yaitu: sebenernya apa sih fungsi seni dalam kehidupan manusia? Ada fungsinya nggak sih? Jangan-jangan nggak ada.

I lo-lo-love how Popok addressed the pink elephant in the room. It’s THE question that we all want to know the answer to, isn’t it?
Dibalik kunjungan gaya-gayaan kita ke berbagai pameran seni, pertunjukkan tari, atau tempat nongkrongnya para seniman, sebenernya pertanyaan ini selalu ada di lubuk hati kita yang terdalam, ya nggak sih? (apa gue doang?)

Sayangnya, gue kurang demen sama display Red Rover Redux ini di ArtJog 2015. Klinik keliling ini dijejelin ke sebuah ruangan sempit, sehingga pengunjung cuma bisa ngeliat mobil van ini dari satu sisi aja, nggak 360 derajat.

IMG_8351

Popok juga memenuhi tembok ruangan display Red Rover Redux dengan sketsa-sketsa emo plus kata-kata curhat. Kayak kamar anak muda galau, dyeh. Ya, emang Popok-nya galau, sih, tapi… it sorta overkills the message jadinya.

IMG_8349

IMG_8352

Trus, Popok ngebawa relawan dokter beneran, lho, untuk ngasih konsultasi ke para pengunjung ArtJog 2015 di hari dan waktu tertentu. Tapi, denger-denger, nih, langkah tersebut kurang efektif karena para pengunjung bingung, ini dokter beneran apa bukan? Sape, nih, orang? Kacian Om Dokter.

So, Popok: great idea, not so great execution.

IMG_8356

On a sidenote, I found out that this “kegelisahan” has been haunting Popok for years, and it was kind of bittersweet to me. Antara kagum dan pengen puk-puk. I hope this restlessness will be his great source of inspiration for many works to come. Yah, Popok, yah?

Jim Allen Abel - 2014 Retrospective Jaws

Karya ini gue nobatkan sebagai salah satu karya terfavorit, tapi lucunya, karena alasan yang melenceng dari niat asli sang seniman, Jim Allen Abel a.k.a. JimiBoi.

Kalo nggak salah, karya ini sebenernya pengen menampilkan interaksi antar manusia dan dihubungkan dengan manner alias tata krama. Katanya, sih, senimannya terinspirasi dari ucapan, “Treat others like how you want to be treated.

But I don’t see any elements of mannerism in this artwork at all! Mari Tante jelaskan.

Karya ini terletak di dalam sebuah ruangan. Instalasinya terdiri dari sebuah meja makan dan enam kursi. Di atas masing-masing kursi terdapat sebongkah benda nggak jelas. Penampakannya kayak batu, tapi bukan batu. Sesuatu yang abstrak aja, gitu.

IMG_8100

Dari langit-langit ruangan, beberapa proyektor “nembak” set meja makan ini dengan video. Meja makannya sendiri disorot dengan video adegan meja makan yang ‘sibuk’—ada piring, gelas, tangan-tangan yang nyendok nasi, nyomot lauk dan ngambil minum.

Sementara bongkahan-bongkahan benda diatas ke-enam kursi tadi disorot dengan video muka-muka orang, tapi bagian mulutnya aja. Jadi bongkahan-bongkahan ini ceritanya manusia-manusia yang lagi ngobrol sambil makan, tanpa menunjukkan identitas mereka.

Kalo nggak salah, JimiBoi menggunakan bongkahan-bongkahan ini sebagai perwakilan orang, supaya pengunjung nggak fokus kepada “siapa yang ngobrol”, melainkan “gimana mereka ngobrol”.

Pokoknya secara keseluruhan, instalasi ini menunjukkan adegan enam orang yang sedang makan sambil ngobrol.

IMG_8110

Pada ngobrolin apa? Nah, instalasi ini nggak menampilkan suara, jadi nggak kedengeran, tuh, mereka ngobrolin apa. Yang ada cuma transkrip obrolannya yang diproyeksikan ke dinding.

Gue memperkirakan adegan makan-makan ini beneran terjadi. Jadi JimiBoi mengundang lima orang temennya makan-makan, disyuting, dan obrolannya direkam. Teks yang ada di dinding instalasi ini adalah transkrip obrolan mereka. Trus dipamerin di ArtJog, deh!

Balik lagi ke omongan gue di awal: Retrospective Jaws ini salah satu karya favorit gue, tapi karena alasan yang melenceng dari niat asli sang seniman. Gimana, tuuuh…?

Jadi, yang bikin gue betah nangkring di instalasi ini sampe hampir setengah jam bukan karena gue memperhatikan tata krama, gestur interaksi, atau apalah yang katanya mau disajikan oleh JimiBoi. Gue betah karena asik baca transkrip obrolan orang-orang indyang.

Obrolan mereka, sih, selow-selow aja, dengan topik seputar sosial-budaya dan kesenian. Isu-isunya simpel, seperti pilpres, calon presiden (sewaktu obrolan ini direkam, pilpres 2014 belum dimulai), kolektor seni, pameran seni, dedek-dedek groupies, sampe harga tiket museum di berbagai negara. Semuanya unscripted dan natural.

IMG_8102

IMG_8103

Yang membuat gue tertarik adalah karena gue selalu penasaran, seniman tuh kalo ngobrol kayak apa?

Kalo ada seniman baca blog ini, pasti gue dijitak. “Kita manusia biasa, kaliii. Jadi kalo ngobrol ya biasa aja, lah!” Bakal ngomong gitu ke gue kali, ya.

But to me, artists ARE exotic creatures, and it is highly interesting for me to be involved in their daily conversation. Jujur-jujuran aja, kok. Sehingga di instalasi ini, gue bak ilmuwan datang ke natural conservation dan memperhatikan tabiat binatang liar di habitat aslinya.

Itulah kenapa gue nangkring di instalasi Retrospective Jaws ini lamaaa sekali—karena gue ngikutin transkrip obrolannya dari awal sampe akhir.

IMG_8107

Kesimpulannya? Ya, obrolan seniman emang biasa aja, sih, zzzz. Tapi tetep ada sempilan ‘lokal’ yang menarik, kok. Sekali lagi, pure fun.

Lucu, sih, bahwa Retrospective Jaws menjadi salah satu favorit gue di ArtJog 2015, bukan karena gue nangkep pesan JimiBoi, tapi karena JimiBoi membuka celah bagi gue untuk ngintip ke dalam obrolan para seniman, yang—bagi gue—udah lama bikin penasaran.

Ngerti maksud gue, nggak? Nggak ya? *sedih*

***

All in all, bagi gue, ArtJog 2015 adalah satu hal: ringan dan menyenangkan. Kalopun ada karya-karya yang nggak bisa dicerna—*lirik Mas Eko Nugroho*—minimal karya tersebut ‘cantik’ atau interaktif. Even my toddler son enjoyed his time here. Mungkin seniman-senimannya emang sengaja bikin karya yang pop, ya?

Tapi—ada tapinya, nih—karena ke-‘ringan’annya ini, hanya sedikit karya-karya ArtJog 2015 yang meninggalkan kesan mendalam untuk gue. Mungkin ibarat nonton film Hollywood blockbuster, ya. Hura-hura, terhibur, lalu… lupa.

Ya nggak apa-apa juga, sih… Kenapa, sih, seni-senian harus berat (mulu)?

Satu kritik utama gue buat ArtJog 2015 adalah ketidak konsistenannya. Banyak karya yang katanya interaktif dan harus dipegang, tapi malah dipasangin tanda No Touching segede bagong. Lah?

Karya-karya di ArtJog 2015 pun sering sekali mengalami kerusakan teknis. Kalo dari hasil nguping para staf, sih, ini gegara banyak pengunjung yang pegang-pegangnya nggak kira-kira, sampe karyanya rusak. Alhasil beberapa karya yang tadinya boleh dipegang, jadi nggak boleh lagi.

Konsep mateng, tapi publik nggak siap ya, bow. Atau justru senimannya yang salah prediksi saat ngerancang karya?

To Be Continued to OK Video 2015!

No comments:

Post a Comment