Nov 1, 2015

Dilema Sekolah dan Seni Jalanan Jakarta

DSCF1675

Ya gustiiii, ya Allah, ya rohman, ya rohiiim.

Sesungguhnya, salah satu kodrat umat manusia yang nggak bisa dielakkan dalam hidupnya adalah…. survey.

Dulu pas mau nikahan, kerjaan gue survey vendor mulu siang-malam. Pas hamil, kembali survey dokter dan baby gear tiada henti. Sekarang, demi sekolah anak, kudu balik survey maniiing, survey maning.

Sebenarnya Raya baru mau masuk TK, tapi bagi gue, idealnya sih TK-nya Raya sejalan dengan SD-nya. Bukan berarti TK-nya harus satu yayasan dengan SD-nya, lho, tetapi sebisa mungkin satu konsep. Misalnya, kalau nanti Raya sekolah di SD nasional berbahasa Indonesia, ya TK-nya yang gitu aja. Nggak harus TK “bule”.

Bulan Oktober-November ini adalah bulan-bulan penentuan bagi anak-anak playgroup—mau TK dimana?

Otomatis, bagi gue, pertanyaan diatas merangkup pertanyaan, mau SD dimana?

Dengan kata lain, dalam waktu tiga bulan ke depan, gue musti udah punya bayangan Raya akan SD dimana, supaya tau juga, musti TK dimana *kejang*

Alhasil, belakangan ini, gue kembali menjalani kodrat sebagai Monster Survey!

Dalam 10 hari terakhir, gue udah survey ke tiga SD dan empat TK. Minggu depan, gue juga bakal dateng ke open house dua sekolah. Cuma dua biji, soalnya open house sekolah-sekolah lain udah pada liwat, pas gue di Eropa kemaren. Hiks.

Sampai situ aja? Tentu tidak. Kata T, we won’t stop surveying until we have seen 10-15 schools, sampai akhir November lah kira-kira. Wow, Papa, kamu udah bertransformasi jadi Monster Survey juga, ya! Kenapa nggak dari jaman survey vendor kawinan, sih?!

Pokoknya semua sekolah dasar di region rumah kita dilalap, deh. Telen semua pake sambel ulek.

Tapi sejauh ini, sih, kesimpulan gue masih sama seperti sebagian ibu-ibu kota besar jaman sekarang. Intinya, pilihan SD Raya terbagi dalam dua kategori:

a. SD swasta nasional, berkurikulum Diknas, dan berbahasa Indonesia penuh.

b. SD swasta nasional plus, yaitu sekolah yang menggunakan kurikulum luar (misalnya, IB, Cambridge, dll) tapi juga masih mengajarkan materi dari Diknas. Walopun sekolah nasional plus selalu bilang bahwa mereka 50-50 (50% ngajarin muatan lokal, 50% berbahasa Indonesia, sisanya materi "bule"), biasanya anak tetap akan lebih banyak berbahasa Inggris dan punya pemahaman yang lebih besar ke kurikulum luar. Ibarat suami yang berpoligami, nggak akan bisa bener-bener adil 50-50, lah. Eaaak…

Gue juga sempet ngintip sekolah internasional. Walau nggak jadi prioritas, gue tetap membuka hati baginya. Halah.

Gue nggak akan ngejembrengin hasil survey gue disini, soalnya infonya terlalu banyak, dan gue punya banyaaak sekali opini atas masing-masing sekolah. Kalo ditulis semua, bisa jadi tesis sebiji.

(tapi kalau ada ibu-ibu yang mau dibisikin, email aja, yah :D)

***

Saat ini, gue masih berdiri di tengah dua kategori SD tersebut. BINGUNG, BOK. Semakin banyak baca, semakin banyak ngobrol, semakin banyak survey, malah makin puspita martha tiahahu. Pusing, mak!

Bahkan setelah direnungi, ditulis pro-kontranya, dan didiskusikan panjang lebar kemana-mana, gue bener-bener menganggap SD nasional dan SD nasional plus sama kuatnya. Sama sekali nggak berat sebelah.

Trus, bagi gue, hal yang paling sulit dalam proses timbang-menimbang ini adalah karena gue musti meneropong ke masa depan. Raya bakal jadi apa? Arah minat Raya kemana? SMP-SMA-kuliahnya sebaiknya dimana? Dan yang terpenting… BAKAL IKUT UN NGGAK? Pak Anies Baswedan, kira-kira 8 taun lagi, Ujian Nasional masih ada nggak?! Jawab Pak, jawaaab!

Ih, mungkin urusan survey sekolah ini bisa jadi kans usaha para peramal dan penerawang gitu, ya...

Ditambah, gue dan T 'kan manusia-manusia tanpa rencana konkrit.

Padahal nggak ada salahnya punya keinginan yang konkrit untuk anak. Misalnya, kepengen anak jadi pegawai perusahaan internasional, atau jadi entrepreneur. Soalnya kalo kita punya rencana, jalur pendidikan anak bisa jadi lebih jelas. Soal terwujud atau enggak, ya liat nanti.

Contohnya, ipar gue firm banget, kelak anaknya musti SMA di luar negeri, seperti orangtuanya. Alhasil, dese enteng banget milih SD internasional / nasional plus untuk anaknya. Nyaris nggak ada kebingungan sama sekali. Easy breezy.

Sementara gue nggak ada rencana atau cita-cita yang konkrit untuk Raya. Seperti yang pernah gue bilang, gue cuman pengen Raya suatu hari bikin perubahan dan ngasih kebaikan bagi orang banyak. Tujuan hidup jangan buat menciptakan kemakmuran duniawi sendiri. Duh, apa Raya masuk sekolah kepribadian aja yaaa?! *telpon John Robert Power*

T kurang lebih sama kayak gue, masih bingung berat. Tapi per hari ini, dia cenderung memilih SD nasional plus atau internasional, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Gue masih netral. Mungkin bersedia menyekolahkan Raya ke sekolah "bule", mungkin nggak. 

***

Kalo gue menyekolahkan Raya ke sekolah "bule", ada satu nilai minus yang bakal bikin gue mewek: Raya jadi beresiko semakin cepat "meninggalkan" Indonesia, secara fisik maupun mental.

Raya mungkin akan lebih cepat berbicara dalam full-English, akan lebih cepat berpikir dengan pola pikir Barat, akan lebih cepat bersekolah keluar negeri, akan lebih cepat "nyabut" akar budayanya, dan mungkin jadi punya nilai-nilai Asia yang berbeda dengan orangtuanya—baik nilai-nilai yang positif maupun negatif.

Semua masih serba mungkin, tapi kalo Raya bersekolah di sekolah "bule", kemungkinan ini lebih besar dan selalu menghantui.

Pada sebuah episode sit-com Modern Family, Gloria (yang seorang imigran Colombia) ngomel ke anaknya ABGnya (yang lahir dan besar Amerika) karena si anak nggak mau les bahasa Spanyol. Satu kalimat yang bikin gue bergetar adalah ketika Gloria bilang, "Tau nggak sih, betapa nggak enaknya nggak bebas ngobrol dalam mother tongue ke anakmu sendiri? Do you know how lonely it feels?"

Duarrr.

Tapi gimana, dong? Gue pun mengakui bahwa fasilitas, metode pengajaran dan pengembangan anak SD "bule" memang unggul, susah ditandingi oleh Diknas. Dan harus diakui juga, hari gini kemampuan Bahasa Inggris udah bukan lagi kebutuhan tertier, tapi primer.

***

Kemaren gue datang ke sebuah pameran seni rupa kontemporer di Galeri Nasional, berjudul Bebas Tapi Sopan.

Pameran ini khusus menampilkan street art alias seni jalanan, khususnya dari Jakarta. Jadi di pameran ini ada berbagai karya grafiti, mural, sampe kumpulan stiker angkot. Spanduk warung pecel lele aja dipajang.

Karena satu dan lain hal, kemaren adek gue terpaksa ikut gue ke pameran ini, dan reaksi pertama dese adalah, "Ini apaan, sih?!" dengan muka males.

Ditambah, 99% pengunjung pameran ini adalah… bilangnya gimana, ya… mmm… anak muda nongkrong? Pokoknya anak-anak umur SMA-kuliahan, berbodi cungkring, berjins robek-robek, muka berminyak keringetan, dan beraroma rokok campur matahari. Pas banget, lah, sama pamerannya, karena kalo bicara street art, ya anak-anak ini yang paling dekat sama street art. Lah, wong tiap hari nongkrong di jalan!

DSCF1664

DSCF1671

DSCF1673

Mungkin bagi adek gue, "seni" haruslah elit dan eksklusif. Harus selalu berbentuk lukisan atau patung Eropa cantik. Kalau pun seninya seni kontemporer, harus tetep keren, ala-ala karyanya Andy Warhol, Yayoi Kusama, dan sejenisnya. Dan pastinya musti ditampilkan di galeri full-AC nan wangi.

Jadi begitu adek gue ngeliat grafiti jembatan layang dibilang "seni", lalu dipajang di galeri yang dipenuhi anak-anak bau matahari, pantes aja do'i mlz.

DSCF1657

DSCF1661

DSCF1665

DSCF1666

DSCF1668

DSCF1669

Tapi hati gue justru hangat di pameran ini, karena pameran ini merefleksikan kota metropolitan Indonesia, terutama Jakarta, kota kelahiran gue tercinta.

Sebagai contoh, di pameran ini, ada ratusan foto-foto tulisan, poster, spanduk, dan signage yang dibuat oleh warga di berbagai pojokan kota di Jakarta.

And all these signs and writings reflect the people of Jakarta perfectly—orang-orang yang keras, kasar, agak ngeres, agamais-tapi-geblek, klenik, tapi selalu humoris tiada tara dalam berbagai kesulitan hidup.

DSCF1642

DSCF1645

DSCF1643

Pameran ini juga menampilkan sejumlah stiker abang-abang. Tau lah, ya, stiker-stiker berslogan khas seperti "maju kena mundur kena" atau "bebas tapi sopan" dan banyak ditempel di belakang bajaj, kursi bis, atau warung.

Dan stiker kota gini emang bisa jadi catatan sejarah, ya. Misalnya, sejarah jargon yang popular di era tertentu, atau sejarah tokoh-tokoh idola. Kayak pas Slank lagi hits-hitsnya, nggak keitung, deh, ada berapa ribu stiker Generasi Biru kesebar di penjuru kota.

And as I’ve mentioned, spanduk warung pecel lele aja ada di pameran ini.

Kenapa? Mengutip seorang teman,

"La, ilustrasi ayam dan lele di spanduk warung pecel tuh khas Indonesia banget, ya. Trus, sebenarnya bisa dikaji lebih dalem, lho. Siapa sih orang yang pertama kali bikin ilustrasinya? Sampe seragam di seluruh Indonesia. Trus, hewan ayam dan lele 'kan ukurannya beda, tapi kalo di spanduk, ukuran mereka kok selalu sama?"

Kritissss! (walau kurang penting).

Terakhir, nih, yang paling bikin gue kagum, dedek-dedek pengunjung pameran ini beneran ngerti dan respek terhadap street art Jakarta.

Okelah, mereka emang keliatannya datang kemari demi selfie belaka, tapi ketika pameran ini membuka sesi diskusi dengan tiga seniman street art Jakarta—Popo, Jablay, dan Emji—segerombolan dedek-dedek ini LANGSUNG nyerbu area diskusi, histeris bak ketemu superstar.

"Noh! Yang belah kiri itu Bang Popo! Bang Popo ituuuu di @_thepopop. Yang sebelahnya Jablay, si @bujanganurban. Hape dong, hape! Lu ntar mau foto bareng yang mana?"

Itu kutipan asli yang kedengeran dari belakang gue, saat gue terhimpit dedek-dedek keringetan di area diskusi tersebut. To them, those street artists are legends.

DSCF1678

Jadi, walaupun keliatannya mereka berisik dan alay, sebenernya anak-anak ini sangat ngikutin "seni" jalanan yang merespon kehidupan kota, yang ditorehkan di "kanvas" besar Jakarta. Ah... :)

***

Kenapa gue mengaitkan dilema pendidikan dasar Raya dengan sebuah pameran urban street art?

Sehari-hari, gue bisa ketawa baca tulisan-tulisan di belakang truk—seperti yang ditampilkan dalam pameran ini—karena gue paham konteks tulisannya, paham jargon-jargonnya, paham pola pikir pembuat tulisannya, juga paham what’s so funny or crude about it.

T, yang sejak SMP sampai kerja tinggal di Singapura, nggak paham sama sekali.

Sehingga selama di pameran ini, gue nggak bisa berhenti berpikir: kalau Raya nanti masuk sekolah "bule"—apalagi lalu lanjut sekolah di luar negeri—trus jadi berbicara dalam bahasa Inggris, berwawasan global, kritis, percaya diri, vokal, dan punya cita-cita keren setinggi langit, dia masih bisa ngakak bareng gue tiap baca tulisan dan signage warga di kota Jakarta nggak? Bakal ngerti humor di setiap caption Instagram-nya Ridwan Kamil nggak?

Apakah Raya bakal punya rasa sentimental terhadap Jakarta dan Indonesia yang sama seperti gue?  Dengan sikap kritisnya yang (pasti akan) diajarkan oleh guru-guru bulenya, masihkah Raya mau mengkaji spanduk warung pecel lele?

Semoga, ya…

DSCF1649

37 comments:

Unknown said...

Keresahannya kurang lebih mirip Mbak. Jadi penasaran sama hasil surveynya.

Eka Dyana said...

Last paragraph,make my heart warm :')

Anonymous said...

ah selalu suka baca tulisannya mba Laila.. postingan ini juga menghangatkan hatiku mba.. thank u ya..

ndhachiyo said...

samaaa samaaa bgt mba lei aku pun dilema mau masukin TK karena pengen skalian sama yg plus SD nya,, udah ada sih yg kecantol pengen nya skolah alam karena pas bgt dgn anak ku yg sgt aktif :')

tpi eh tpi sekolah alam itu rata2 lokasi nya jauh di rumah huhuuhhu..
mau nekat tpi paling malas sama komen2 sodara ga kasihan apa jauh blum lgi ga didukung jg sama suami yg lebih milih sekolah konvensional aja hahhhh pusiankk pala barbie :P

vee~and~me said...

Mbak lei... ini dalem banget bahasannyaaaa...
Aku jg sma mbak, lagi bingung mau nyekolahin anak di sekolah tipe apa...
Tadinya condong ke TK-SD Nasional Plus, karena pengennya anakku ntar lanjutin sekolah diluar negeri...
Tapi..tapi...begitu baca tulisanmu aku jadi nervous mak.. gak kebayang 'efek samping' yg kayak gituuu...
Trus gimana nanti kalo anakku gak mau pulang ke Indonesia lagi yah.. meweeekk..

Rizka Hezmela said...

Ih la mirip pisan mikirnya! Gw ga mau juga Akira jadi ga ngerti soal betapa menyenangkannya ngobrol pake bahasa gaul masa kini dengan semua ekspresinya haha Intinya, pengen anaknya jadi asik (asik loh!). Soalnya bahasa enggres klo bkn sama sesama enggres bwt gw kurang asik! Singkat kata setelah bismillah cap cipcup anak gw masuk sekolah alam haha abis makin dipikirin makin galau bok!

Clara said...

Yaolo... ini juga kebingungan dimari
Padahal anaknya masi masuk TK 2 tahun lagi, tapi galaunya udah dimulai.
Survey sana survey sini. Trus karna bedua suami sama2 kerja, kita minggu lalu bolos bareng demi survey.
Ini ampe bikin di excel plus minus masing-masing sekolah. Yang berujung dengan...tambah galao. Ahahaha.
Smangat makk! *tinju angkasa*

Rere said...

lama gak maen kesini raya dah gede :*

nambahin lagi, sering liat slogan "ïsih penak jaman ku tho?" di beberapa mobik pick up. Yang kayak gini gak ada selain di Jakarta wkwkwkwk

Aisyah said...

Tulisan nya kak lei selalu cerdas

nurul rahma said...

Aih, mbak. Cadas sekali dirimu mengaitkan street art dgn parenting, edukasi itu :) Kalo aku siiiy, untuk pendidikan dasar (TK, SD, dll) IMHO better kasih yang "membumi" dan meng-Indonesia-kan anak. Untuk kemampuan English, wawasan global dll-nya, bisa laaah, daftarin Raya ke kursus/les apapun itu. Jadi, anak tetep bisa dapat feel "Indonesia" dan enggak ketinggalan juga untuk bersiap menjadi global citizen.

Unknown said...

wow mbak lei. membuka mata sekali nih tulisannya, anakku juga masih 2 tahun tapi sudah kebayang juga pingin nyekolahin dia di sekolah yang seperti apa.

tapi emang pertimbangannya lebih ke sekolah swasta berbasis agama ato sekolah negeri seperti emak bapaknya, tapi yang dipertimbangkan salah satunya adalah sekolah yang gampang nerima perbedaan gak gampang nge-bully kalo ada yg gak sama, krn emaknya dulu susah survive dari masa-masa pem bully an..

tapi pada akhirnya pertimbangan kita sebagai ibu-ibu tetap merasa ingin terlibat dengan anak, dengan menjadikan diri kita sebagai subyek juga dalam pemilihan sekolah ini..

jadi macam masukan pokoknya lah #belibet sendiri

Anonymous said...

Aduh mba Lei postinganmu sangat thoughtful sekali, jadi terharu bacanya..

Unknown said...

hihi.. tadinya never ending debate sama suami soal ini. gue tadinya pengennya ya international-laaahhhhh biar siap menghadapi kejamnya dunia! tapi kata suami gue, tanpa sekolah international, dia yakin anaknya kalau diajarin dari gue dan suami untuk pede dan semua persiapan itu untuk menghadapi berbagai macam rintangan, pasti bisa! pertanyaan simple dia ke gue adalah "emangnya kamu bisa pede ngomong english dan selalu punya atasan expat, pernah ke luar negri dulu pas kecilnya? itu karena kamu belajar dan suka kan? dan kamu diajarin orangtua kamu untuk pede, jadi terpupuk dan liat kamu sekarang.. jadi anak kamu ngga butuh itu" *terdiam*

dan suami gue, se-idealis itu sampe dia udah ngga mau masukin anaknya ke sd internasional ataupun national plus karena dia ngga mau anaknya kehilangan ke-Indonesiaannya. jadi walaupun nantinya anaknya kuliah di luar negeri, dia akan tetep jadi anak yang nasionalis yang mencintai Indonesia, atau Jakarta dengan ke-nyebelinannya (is this even a word?!), dan akan bawa2 nasionalisme-nya itu kemana pun anaknya pergi, ke ujung dunia manapun! *iyain aja karena in the end, akupun akhirnya setuju :')*

panjang yeee :)))))

Ludugove said...

Mbak Lei, keren tulisannya.. Sedikit sharing, aku sekolahnya campur aduk. Pas TK-SD di swasta nasional, SMP di negri, SMA di national plus. Kalo sekarang direnungkan, masing-masing ada kelebihannya sendiri (Lah, dirimu juga udah tahu yak). Menurutku, yang jadi kelebihan pas sekolah di TK-SD swasta nasional itu pendidikan karakternya yang kuat - disiplin, tanggung jawab, empati-simpati, kejujuran, kerja keras, rasa hormat ke orang yang lebih tua etc.. Trus pas sekolah di SMP negri, itu menolong aku banget buat mengembangkan social skill, secara muridnya lebih beragam latar-belakang sosial-ekonominya (dan juga permasalahannya). Yang terakhir pas SMA di national plus, kaya yang Mbak Lei udah jelasin, bahasa inggrisku jadi jauh lebih oke, aku jadi lebih kritis, jadi lebih terbuka sama nilai-nilai dan pemahaman yang berbeda. Tapi karena tadinya aku dari SMP negri, aku ngrasa lebih grounded ketika bergaul sama temen-temen yang semuanya punya latar belakang ekonomi yang oke, karena udah tahu gimana realita hidup kebanyakan orang.. Semoga berguna Mbak..

mynesha said...

Setuju banget dengan suaminya mbak.

Kami (saya dan suami) sih sejak sebelum nikah pengen punya anak yang Indonesia banget, jadi udah mantap milih sekolah dengan kurikulum nasional aja, jadi waktu survey sekolah nggak ngelirik lagi sekolah yang pake kurikulum plus plus itu.
Pilihannya udah disempitkan gitu pun tetep aja sibuk survey.
Emang dari sononya bawaan emak-emak rempong aja kali :D

Akhirnya kami milih sekolah swasta dengan kurikulum nasional tanpa afiliasi agama dan full menggunakan bahasa Indonesia.
Soal global citizen, bismillah aja lah, toh, saya dan suami juga dulunya produk sekolah negeri biasa (malah saya lulusan SD inpres), gedenya nggak bodo-bodo amat dan nggak bandel-bandel amat.
Dan juga lumayan nggak belangsak-belangsak amat lah, walau masih tetap nggak bisa wira-wiri pake helikopter kayak mas Boy :D

prin_theth said...

Haaai! Makasih ya sharingnya :)

Aku paling setuju sama pemikiran kamu, karena dulu aku juga ngalamin jalur pendidikan yang lumayan diverse, walau nggak se-diverse kamu.

Malah kalo bisa, di setiap jenjang pendidikan Raya, sekolahnya dibedain hahaha. SD bule, SMP pesantren, SMA di Jawa, kuliah di luar negeri, dsb, dll.

Walaupun postingan ini kesannya nasionalis, sebenarnya aku membuka pikiran selebar mungkin kok, nggak mau terlalu militan sama sekolah nasional, juga nggak mau terlalu kebule-bulean. All the best for you ya! :)

prin_theth said...

Haai, iyaa setuju sama poin-poinnya. Ilmu formal bisa dikejar kapan aja, tapi rasa grounded dan sentimentil terhadap tanah air hanya bisa ditanamkan di usia dasar, yaaa :)

Tapiii maaf nih, aku pribadi kurang setuju sama pemikiran-pemikiran, "Ah gapapa kok blablabla, toh saya dulu blablabla, sekarang baik-baik aja..." Soalnya jaman berubah, dan tantangan pada era anak kita akan sangaaaat berbeda dengan era kita. Hal-hal yang dianggap "prestasi" pas jaman kita, akan menjadi "biasa banget" pas jaman anak kita. Namanya manusia, harus selalu berevolusi jadi maju yaa...

Jadi per sekarang ini, aku nggak ngotot nyamain jalur pendidikan Raya dengan jalur pendidikanku dulu, masih fleksibel deh. Because things will be different. Tapi sembari berusaha menanamkan yang nilai-nilai yang terbaik... ceileee... aamiiin!

copper said...

La,
Aku 14 tahun di luar Indo tetep bisa cekikikan koq kalo baca joke2 lokal. Kan variable-nya ada banyak, gak cuma tipe sekolah & lokasi aja. Didikan keluarga, temen2 bergaul, dan personal interest sangat ngefek.

Misal, jaman "dulu" sering connect dengan orang Indo via forum malesbanget / IRC, sehingga exposed pada lucu2an lokal.

Aku rasa exposure terhadap hal2 yg beraneka-ragam sangat penting dari usia dini supaya wawasan/pikiran terbuka dan lebih toleran terhadap perbedaan2 di dunia ini, plus tau cara menghadapinya. Dan metode exposure yg paling "kena" adalah "hidup di dalamnya".

Beberapa hari lalu nemu tulisan tentang Pe-eR membuka wawasan yg dikasi dosen UI ke murid2nya. I think you'd find it useful :)

https://indonesiamengajar.org/cerita-pm/patrya-pratama/passport-by-rhenald-kasali

Ntar kalo udah bikin keputusan, kabar2i ya biar aku bisa nyontek pertimbangan & kesimpulannya :p

Bowo said...

Jadi inget, dulu gue sempet pingin bikin kaos gambar lukisan-lukisan bak truk barang lintas kota/pulau, tapi gak tau harus nyari materinya di mana. Waktu itu sih kebayangnya emang harus dokumentasiin/motretin sendiri, yang ujung-ujungnya akan ngabisin biaya/waktu cukup banyak.

Btw, masalah lo di tulisan ini juga sempet jadi bahasan gue sama Evi waktu dulu, tapi bedanya kalo gue udah fokus anak gue harus sekolah bahasa Indonesia, yang masih bingung cuma sekolah alam atau " sekolah biasa".

Andita said...

Tulisan ini jadi mengingatkan diri sendiri soal kegalauan milih sekolah anak. My son is turning one tomorrow, tapi pikiran soal pilih2 sekolah udah ada dari sejak dia lahir :D

Kita memang domisili di Perth, kebingungan nya cuma antara pilih sekolah swasta muslim atau public school. So far lebih condong ke yg swasta, dengan pertimbangan kami muslim dan pendidikan agama dari ortu aja kayaknya nggak cukup soalnya aku dan suami payah banget hahaah *nunduk malu*. Di lain sisi, public school juga bagus karena kegiatan olahraga, art dan social skill nya lebih dikembangkan.

Nah yg bikin bingung, menanamkan rasa cinta tanah air nya gimanaa? Huaaa ini yang terkadang jadi momok dan bikin sedih. Kata2 Gloria soal merasa lonely ketika anaknya nggak bisa diajak ngobrol dalam mother tongue itu menohok. Di satu sisi pengen anak pinter bahasa inggris supaya bisa get along sama lingkungan, tapi di sisi lain pengen anak juga fasih berbahasa indonesia sampai ngerti ke joke2 konyol nya.

Ini komen nggak membantu ya, malah jadi tempat curhat hahaha.. Anyway good luck untuk pilihan sekolah Raya semoga apapun yg dipilih cocok untuk Raya <3

de asmara said...

Kalo hanya soal pingin anaknya jago nginggris, hey dirimu kan cas cis cus, ya dari emaknya sahaja lah... kalo gw pribadi anak pas TK di swasta yang basisnya agama dan kualitasnya mayan bagus, karena yg diincar memang kegiatan2 dan lomba2nya, secara yg namanya masih TK intinya adalah itu kan... belajar berekspresi dan berani tampil.

Begitu SD, dimasukin ke negeri. Tujuannya: biar dpt perspektif beragam tentang kondisi sosial dan ekonomi teman2nya, supaya nggak terlalu material & hi-tech minded (kl sekolah swasta or yg bilingual kan biasanya gitu), juga yg ga kalah penting krn biaya udah ditanggung pajak gw sendiri (gw paling menolak kl dibilang SD negri tuh gretong. Hell yg bayar pemerintah bikin itu sekolah n gaji guru2nya kan dr pajak kita2, ya berhak dong menerima feedback-nya). Nah krn biaya SPP gak ada, maka budget bisa utk fokus biayain les anak ke kegiatan non-akademis kesukaannya... entah beladiri, musik, renang, apalah apalah.

Buat pemikiran gw pribadi, tujuan bersekolah formal (di Indonesia) bukanlah menuntut ilmu poin utamanya. Kerasa kan begitu kita masuk dunia kerja, kita akhirnya bisa punya link kesana-kemari krn ternyata yg kerja di instansi A tuh temen SMA kita, yg bisa diajak kerjasama di perusahaan B tuh temen SD kita, dll.... intinya bersekolah pd akhirnya adalah investasi jaringan kerja kita di kemudian hari nanti. Bersekolah juga tujuan2 utamanya ngebentuk karakter, juga belajar berorganisasi.

Secara akademis.....? Hmmm, mohon maaf luar biasa, sekolah jalur formil nyaris semata2 demi buat dapetin ijazahnya aja, krn itu keharusan kan di Indonesia? Nggak meremehkan profesi guru, cuma memang pada faktanya La, percayalah, guru ngajarin 25%, sisa 75%nya sang Ibu di rumah *ngacungin 2 jari sambil tersenyum getir* Dan jika itu masih kurang, ya mereka ga mo tau jg, yg mereka tau pokoknya PR, latihan, ulangan, ujian, trus bagi raport. Kalo ngerasa keteter ya ortu silakan les-in anaknya di luar. Pd akhirnya sekolah hanya jadi beban anak. Nowadays yaaa.... jaman gw taun 80-90an dulu sih gak gitu.

Kl emang uang bukan sebuah issue buat sang ortu, coba cari sekolah yg beban akademisnya nggak terlalu berat, n banyak pilihan hal2 di luar akademis, seperti ekskul2 misalnya.

Unknown said...

Tulisan nya keren mba.
Sudah nyoba cari tahu tentang homechooling :) ?

kriww said...

Laila, setuju banget...

Andita, gue aja mewek karena ga bisa ngomong jawa ke anak... bahkan gue juga mewek ga bisa ngomong cina sama suami 😂

untuk sementara, buat gue dan suami, yg terutama menjadi syarat sekolah adalah nggak berbasis agama apapun. Selain karena kita nggak bisa filter apa yg mungkin diajarin di sekolah (denger nggak sih kasus anak2 sdit yg disuruh nonton video palestin dan didoktrin jokowi kristen? It scares the hell outta me!) Gue dan suami dari keluarga beda agama dan gak pengen anak gue nanti jahat ke sepupunya yg beda agama.

Gue dan suami bahkan sudah memutuskan kita rela kalopun anak2 sekolah di sd yg kualitasnya 'kurang' daripada sd yg oke banget tapi sdit atau punya yayasan katolik (kecuali sd yayasan buddha mungkin gue masih mau krn lebih universal... lah banci kan gue) gue pengen anak gue BAIK ke semua orang apapun suku, ras, agama dan kelas sosialnya (and yes, that is my main concern, no matter how weird it sounds) duh gue kok jadi curcol sih....

Seorang temen pernah bilang, dia masukin anak ke sekolah indo tionghoa biar anaknya gaul sama yg serumpun dan gak di bully karena dia cina. Gue, justru pengen anak gue menghadapi dunia nyata bahwa orang beda2, dan kebetulan dia minoritas. Tentu gue gak berharap anak2 gue dibully, tapi gue pengen kalopun dia dibully, dia bisa menghadapinya, dan yg terpenting dia tahu bahwa hidup ini keras (cintaku sekeras batu bacan emang 😑) gue gak pengen menghadirkan segala kemudahan dan menyingkirkan segala halangan biar anak gue tau kalo dalam hidup ini, dia harus berusaha.

Di sisi lain gue paham banget dunia kerja anak gue nanti bakal lebih demanding, dan gue terbersit takut juga jangan2 gue udah membuat anak gue berdaya saing kurang yah dengan gak nyekolahin dia di sekolah kurikulum internasional (problem is, gue di perbatasan, pilihan dikit dan sekolah terbaiknya sdit sama sd indo tionghoa). Ah galau deh... nyilem ahh

prin_theth said...

Aamiin, makasih ya!

Gue yakin kok, selama orangtuanya punya kesadaran (baru kesadaran, ya, bahkan belum punya action plan), anak pasti aman laah... entah itu kesadaran nasionalisme, agama atau apapun. All the best for your son juga yaa!

prin_theth said...

Terimakasih! Sejauh ini belum ada niat homeschooling, nih :)

prin_theth said...

Halo!

Tau nggak sih, gue suka banget dengan komen-komen disini, karena merefleksikan betapa beragamnya pemikiran dan prioritas setiap orangtua, dan NGGAK ADA SATUPUN opini yang benar atau salah. Semua mau yang terbaik buat anak-anaknya.

Nah, komen lo mewakili orangtua yang concern dengan isu cultural diversity ya, sehingga memberikan gue insight juga, lho. Thank you!

prin_theth said...

Christopher!!! Pertanyaannya.... kok lo diem-diem bacain blog gue?! Hahahaha...

Gue setuju banget sama lo, Copper. The thing is, sehari-hari gue berhadapan dengan Tugk yang merupakan produk gagal 13 taun di Singapura karena wawasan Indonnya cukup mati hahahaha. Ajarin dong, Per!

prin_theth said...

Yang penting, kalo ke sekolah alam jangan absen pake Autan nggak, sih? (Bowo maafkan komen cetek becanda gue ya, di daerah rumah gue nggak ada sekolah alam :D)

prin_theth said...

Hihihi, coba dalami lagi aja sekolah alamnya. Yang penting suami setuju sih, menurutku. Kalo suami udah setuju, orang-orang lain nggak usah didenger. Memang sih, ada rasa kasian anak harus menempuh perjalanan jauh, tapi menurutkuuu kalo masih bearable dan anaknya kuat-kuat aja, aku nggak masalah samsek.

Calon TK Raya juga termasuk jalur macet dan lokasinya nggak deket-deket dari rumah, dan kita jadi harus berangkat subuh banget. Tapi kalo niat dijalanin, rasanya enteng kok :) Pokoknya semoga dapet yang terbaik ya!

prin_theth said...

Hahaha gue juga udah pengen berhenti survey, niiih. Abis makin banyak survey, makin pusiang!

Unknown said...

Halo Leija. Mau share, karena "masalah" pendidikan anak2 kami yg msh balita aku dan suami memutuskan untuk pindah ke Frankfurt (semoga) sampai anak2 bisa kuliah di Jerman. Kebetulan kantor pusat suami disana. Suami (WN Korea) tdk suka dgn sistem pendidikan disini, kalo di Korea sistem pendidikan mayan ok tapi loadnya lebih berat dr Indonesia (T.T). Sebenernya sediih bgt nanti harus meninggalkan Indonesia, tp hrs kuat untuk masa depan anak2. Btw mereka skrg sekolah di swasta nasional berbasis agama dan memang sgt akademik dan disiplin, ga kebayang SD gimana phewww. Good luck ya dalam pencarian sekolahnya. All the best for Raya! Sandra

Anonymous said...

Gue anak daerah, dari SD-kuliah di negri terus, baru ke Jakarta setelah lulus kuliah dan baru punya paspor setelah kerja. Suami gue anak Jakarta, 13 taun di Amerika sejak SMA, baru pulang setaun sebelum ketemu gue & gak lama kemudian kita nikah. Suami dulu gak nyangka gue anak daerah, dan sampe sekarang sering heran kok gue bisa tau hal2 yg menurutnya 'anak Jakarta banget' or 'Amerika banget'. Padahal sih semuanya gue dapetin dari nonton & baca doang, karena untungnya jangkauan film Catatan Si Boy dan majalah Hai itu luas sekali, kakak. Sebaliknya, suami gak nangkep lucunya jokes Srimulat dan gak paham kenapa setiap penyanyi dangdut wajib punya goyangan khas. Jadi kesimpulannya, ngenalin budaya modern itu jauh lebih gampang, apalagi di jaman internet begini. Gue bersyukur jadi anak daerah, karena gue jadi mengenal budaya & bahasa yang gue mungkin gak tertarik untuk pelajari kalo gue lahir & besar di Jakarta.

prin_theth said...

Oooh waah, dilematis juga ya... but all the best untuk perjalanan pendidikan anak-anaknya juga yaa!

prin_theth said...

... dan di saat yang bersamaan, seorang teman gue (tuuh orangnya juga ninggalin komen di atas-atas :D) mengalami kasus yang sebaliknya. Dia tinggal di luar negeri selama 13 tahun, tapi masih nyambung banget sama guyonan dan pop culture lokal (Jakarta / Indonesia). Juga karena internet :)

Jadi, jalur hidup setiap orang berbeda-beda, hasilnya juga berbeda-beda, tergantung orangnya sih ya. Nggak ada formula yang pakem. Thanks for sharing!

duma turnip said...

somehow gue juga setuju ko dengan pemikiran kita harus berevolusi itu.. makanya sempet ngotot. dan okelah, coba kita ajakin ngotot lagi kali aja dia berubah! *laaaaahh istrinya labil!* :)))))

ayu said...

Instagram Ridwan Kamil FTW! :')))

Btw La, kalo Raya ada bakat sains atau ketertarikan di seputar sains and math to be spesific bisa cek SD Pribadi di margonda, depok. Jauh banget sih, tapi cek aja deh, buat info tambahan aja. Imo, keren sih sekolahnya (apa ini karena gue yang science and math freak ya?). Yayasan itu kerjasama dengan Turki, La. Siswanya udah langganan ikut-menang olimpiade sains - math.

Karena Radit emang minat ke sana dan nilai math sama sainsnya bagus ya gue insyaallah sih udah mantap Radit bakal SMP boarding (kalo SD nggak boarding) di sana, semoga rejekinya ada. Amin

Good luck yaa!

p3s said...

Halloo, Kak!

Basi banget deh ini baru baca sekarang.. kebetulan lagi pusing berat nyari sekolah buat anak. My baby is only 17month tapi emaknya uda ribet nyari sekolah zzzz.

Anyway, gue pingin pingin pingin banget si anak masuk sekolah nasional. Karena ya itu, gak suka anaknya jadi terlalu "bule" padahal keluarganya semua ndeso abis.
Tapi kog ya sekolah nasional ini harganya lebih gila dari yang bule? pusing pala berbi.
contoh, sekolah katolik di batu tulis, harga pre-k nya 2 kali lipat dibanding k*dea, misalnya. huhu

Anyway lagi, masih bisa bisikin hasil survey nya by email ke petris.lie@gmail.com?
Kalo masih ada sih.. :D

thanks anyway yaaa

Post a Comment